Aku mengawali menulis tentang tulisan Afi Nihaya Faradisa berawal dari pembahasan “Koefesien Bahagia.” Menurutku, ini ide yang bagus mengingat aku pun dalam keadaan rasa bahagia bisa menulis seputar Afi ini, yang aku anggap Afi adalah adik inspirasiku. Walaupun bahagia, tetapi kebahagiaan yang aku rasakan bersifat standar. Aku bingung, bagaimana rasanya bahagia yang berlebih. Tidak punya uang bahagiaku standar, punya uang banyak pun bahagiaku standar juga. Tetapi tidak apa-apa kan, Afi, aku merasakan bahagia menulis tentangmu hanya standar-standar saja? Seperti perkataan lagu, “Yang sedang-sedang saja...” Aku menjadikanmu sumber kebahagiaan yang standar. Ketawa ya, haha.
Bertambah bahagia juga walau sebatas standar yakni kamu sudah menonaktifkan komentar. Kamu paham, Afi, makna dari menonaktifkan komentar? Pertama, aku pensiun menjadi satpam online kamu yang berusaha mengamankan kolom komentarmu dengan argumen yang lebih menitikberatkan menjaga hati.
Kedua, ketika kolom komentar dinonaktiftan, otomatis yang komentar bisa sedikit, hanya yang tergabung dalam pertemaan dengan kamu di Facebook. Maknanya apa bila sedikit komentar? Jelas lah, aku lebih leluasa berbagi tulisanmu sambil memberikan tulisanku lewat Facebook yang berharap kamu membacanya juga. Tidak maksa sih, tetapi barangkali aku bisa dijadikan kakak inspirasimu, hahai. Bayangkan bila banyak yang berkomentar, sia-sia saja aku menyuguhkan tulisan untukmu lewat kolom berbagi tulisan. Biasanya ada pemberitaan bahwa tulisanmu dibagi oleh seseorang dan seseorang itu adalah aku.
Walaupun menulis seputar Afi dan tulisannya bisa dianggap sumber kebahagiaan, tetapi belum tentu aku merasakan bahwa kehadiran Afi bisa menghadirkan pemahaman. Jelas, aku mantan anak SMA yang gagal mengenal ilmu Matamatika, Fisika, Kimia. Jadi aku tidak paham makna Koefisiensi. Apalagi kalau dihubungkan dengan kebahagiaan. Aduh, bahasa planet dari mana nih, Fi...? Terpaksa aku buka kamus ilmiah yang pernah aku beli waktu masih zaman kuliahan. Ternyata, arti koefesien adalah bilangan pokok dan makna yang lebih aneh lagi. Terus bagaimana? Apakah harus tanya anak SMA? Gila bener, haha... Ya, sudah, terpenting aku bisa menangkap isi tulisan Afi. Duh, ternyata benar, kehadiran Afi menghadirkan pemahaman juga. Makasih adik.
Waktu itu kamu ditanya sama wartawan mengenai cita-citamu. Kamu menjawab dengan santai tanpa beban, “Cita-cita saya adalah ingin bahagia.”
Jawabanmu seputar cita-cita menurut wartawan terlalu abstrak alias apa ya? Tetapi yang jelas, menurutku jawaban kamu terlalu luas, Fi. Terlalu luas bisa jadi membuatmu terbawa arus berbagai aktifitas yang tidak mendukung fokus cita-citamu. Bila dalam teori belajar, terlalu banyak melahap mata pelajaran sehingga tidak menjadi seorang ahli. Cita-cita bahagia ada di segala bidang. Kamu bercita-cita menjadi penulis hebat, bisa mendapatkan kebahagiaan. Harusnya kamu memilih yang spesifik seputar cita-cita dan memperjuangkannya dengan hati bahagia. Tetapi memiliki cita-cita bahagia juga bisa dianggap masuk akal. Karena tidak semua apa yang dicita-citakan secara spesifik seperti jadi guru, dokter dan sebagainya bisa menghasilkan rasa bahagia. Artinya bisa kembali kepada spesifikasi cita-cita. Terpenting bisa merasakan bahagia, sudah cukup.
Tetapi apakah bila memiliki cita-cita bahagia maka pada akhirnya akan menemukan kebahagian pada objek ril sebuah cita-cita? Misal cita-cita bahagia ketika menjadi guru. Ketika dibayangkan, bisa menemukan kebahagiaan. Tetapi dalam praktek menjadi guru, banyak mengalami rasa tidak bahagia. Lantas, bagaimana menyikapi ini? Berhubung menjadi guru tidak menyebabkan bahagia dan tentu tidak sesuai cita-cita, apakah akan keluar dari pekerjaan menjadi guru? Hm... hayo bagaimana, Fi?
Kamu menjawab "Tidak, jawaban itu tidak abstrak bagi saya, Pak." Nah, mengenai tanggapan dari kamu ini, ada hubungannya mengenai objek rill cita-cita yang tidak membawa bahagia namun bisa mengupayakan membahagiakan diri. Artinya tidak perlu keluar menjadi guru hanya karena tidak ada rasa bahagia. Seperti perkataan kamu bahwa kebahagiaan tidak abstrak maka perlu objek rill cita-cita. Kalau tidak ada objek rill cita-cita, kebahagiaan itu datang lewat mana?
Sebelum membahas pendalaman sebuah membahagiakan diri atas objek, aku akan menanggapi tulisan Afi terlebih terlebih dahulu.
Semua kegiatan manusia hanyalah bermuara pada pencarian rasa. Jika ditelusuri sampai akar terdalam, uang adalah alat yang kita genggam untuk 'mengeruk' rasa aman dan nyaman.
Semua kegiatan manusia hanyalah bermuara pada pencarian RASA. Jika ditelusuri sampai akar terdalam, uang adalah alat yang kita genggam untuk 'mengeruk' rasa aman dan nyaman. Kita mengejar pendidikan untuk memberi rasa puas pada hati dan pikiran akan pengetahuan. Menikah untuk mencari rasa bahagia yang mungkin tidak bisa kita dapatkan dengan cara lainnya. Kita minum obat untuk menyingkirkan rasa sakit dan mengembalikan kesehatan. Kita mengidamkan kelegaan dari sebuah tangisan. Bahkan, masuk surga pun adalah keinginan terdalam kita untuk mendapatkan rasa bahagia. Di dalam sana, yang konon semua hal sudah tersedia sebelum diminta, ada jaminan akan kebahagiaan tanpa akhir. Lagi-lagi hanya RASA, karena memang segala hal ujung-ujungnya bermuara ke sana.
Masalahnya, kita semua terlena pada 'bungkus' semata. Kita berpikir bahwa kebahagiaan hanya berbungkuskan uang dan kedudukan. Kenyataannya? Tunggu dulu.”
Menanggapi pernyataan di atas, ada sebuah trik bagaimana karya tulis, katakanlah buku, terjual laris-manis. Hal ini diajarkan oleh pakar bisnis. Ketika Afi ingin menjual buku yang laris, maka harus menyentuh area rasa manusia. Ketika buku yang Afi jual berkaitan dengan “Rahasia Menjadi Artis Medsos Ratusan Ribu Follower Dengan Karya” maka sebenarnya Afi sedang menyentuh rasa manusia seputar rasa diakui, rasa keunggulan, rasa yang lebih baik dengan mengandalkan ukuran kepopuleran dan karya. Ketika menjual buku “Menjadi Idaman Suami Tanpa Basa-Basi”, maka Afi sedang menyentuh rasa dimiliki, rasa dicintai, dan yang lainnya. Jadi betul, semua kegiatan manusia bermuara pada pencarian rasa.
Sekarang aku tanya pada Afi, belajar, sekolah itu untuk apa sih? Mencari rasa keamanan akan masa depan. Apakah mengalami kebahagiaan? Belum tentu, tetapi ada keinginan untuk belajar dan sekolah mengingat keamanan masa depan bisa terjamin. Ketika memiliki cita-cita ingin bahagia, tidak sah dong untuk menjalankan aktifitas sekolah. Tetapi bisa juga merasa bahagia bila bersekolah, belajar waktu masih kecil, tetapi berubah tidak bahagia ketika memasuki remaja. Lebih bahagia bermain daripada belajar. Tetapi bermain pun belum tentu mendapatkan kebahagiaan juga. Ada banyak aktifitas bermain justru terbawa arus kecemasan dan perasaan tidak enak lainnya namun tidak bisa berontak.
Namun banyak yang terjebak dalam sebuah “bungkus” atau objek rill. Katakanlah uang. Ketika punya uang mungkin dianggap aman. Namun ternyata keamanan karena memiliki uang justru mengakibatkan tidak bahagia. Ada kehati-hatian tersendiri dalam menangani uang sehingga tidak bahagia. Jelas, karena uang adalah pemenuhan rasa aman dalam hidup jadi harus dijaga dengan baik. Ketika tidak dijaga dan uang hilang, tentu tidak akan aman dan otomatis tidak bahagia. Tetapi sekali lagi, ada uang atau tidak, bahagia sebenarnya tidak terikat. Hanya karena uang sebagai bungkusan bahagia atau bisa disebut objek rill, seolah bisa membahagiakan. Banyak orang yang tertipu. Bahkan bukan hanya tertipu sebagai sumber kebahagiaan, sumber rasa lain pun tertipu. Dikira uang benar-benar mengamankan hidup. Padahal, tanpa uang pun bisa aman asalkan masih bisa terpenuhi makanan sehari-hari walau dapat dikasih.
Banyak orang gila jabatan agar merasa dihormati dan tentunya ada rasa bahagia akibat dihormati. Rasa ingin dihormati, rasa ingin jauh lebih baik, membuat orang terpedaya dengan jabatan. Padahal jabatan adalah bungkusan bukan isi. Untuk meraih kehormatan, penghargaan diri, tidak harus lewat jabatan. Bisa dengan ilmu dan amal soleh maka akan memperoleh penghormatan dan berujung kebahagiaan. Tetapi karena terjebak bungkusan berupa jabatan, orang akan berebut.
Sekarang kembali pada inti rasa bahagia karena mendapatkan sesuatu. Bisa jadi rasa bahagia adalah inti pokok sebuah rasa-rasa yang telah didapatkan. Rasa aman, tentu akan bahagia. Rasa nyaman, apalagi. Rasa mencintai, tentu bahagia. Bahkan masuk surga lebih dari sekedar selamat dari ketidakenakan yakni mendapat kebahagiaan.
Ketika Afi Nihaya Faradisa memiliki cita-cita bahagia lantas pada kenyataannya tidak bahagia karena bungkus atau objek rill cita-cita bukanlah esensi sebuah kebahagiaan, apakah akan mengganti cita-cita? Namun untuk menjawab ini, perlu menghadirkan pernyataan Afi terlebih dahulu.
Aku dulu berpikir aku akan sangat bahagia jika punya laptop. Setelah punya laptop aku memang bahagia, namun perasaan itu hanya bersarang sebentar saja. Setelahnya kembali pada 'keadaan perasaan' semula. Aku dulu ingin gadget ini dan itu. Ternyata, setelah beberapa waktu semesta benar-benar menghadirkannya di genggamanku. Namun, apakah aku benar-benar berbahagia seperti yang kukira sebelumnya? Jawabannya mungkin mengejutkanmu: tidak.
Itulah yang kusebut dengan koefisien kebahagiaan. Saat kita menerima ataupun mengalami hal baru, kebahagiaan mungkin bertahan beberapa lama, tapi kemudian perasaan batin kita akan kembali pada level semula. Netral.
Menurut Kelirumologi Jay Suprana, banyak orang yang mencari kebahagiaan dengan usaha yang justru tidak membahagiakan. Seperti upaya Afi ingin membeli laptop dan gatget dengan ketidakbahagiaan agar bisa meraih bahagia dari hal itu. Setelah didapatkan, ternyata bahagia hanya sesaat. Mengapa? Karena kebahagiaan yang difokuskan hanya pada bungkus atau objek rill sebuah cita-cita. Harusnya, bukan seperti itu apalagi Afi yang memiliki cita-cita ingin bahagia. Ketika mengupayakan untuk mendapat laptop dan gatget, jadikanlah upaya itu adalah sebuah kebahagiaan dan terus merasakan bahagia walaupun sudah lama memiliki apa yang diinginkan. Itulah cita-cita ingin bahagia. Jadi, ada upaya membahagiakan diri dengan mengambil sisi positif dari segala perbuatan.
Ada dikatakan bahwa bahagia hanya ada di hati. Apapun keadaannya, bergantung hati untuk merasakan bahagia atau tidak. Ketika Afi bercita-cita ingin bahagia dengan objek rill seperti kaya, menjadi penulis terkenal, banyak kenalan dan segala macamnya, maka hal yang bisa dilakukan untuk bahagia adalah bagaimana kondisi hatinya. Dan mengupayakan agar hati bahagia tentu bisa dengan berbagai terapi ketenangan pikiran, bersyukur, ikhlas dan sikap kebaikan lainnya. Kondisi inilah yang memungkinkan akan tetap bahagia walaupun sudah merasakan rumah megah. Karena hatinya sudah terbangun untuk selalu bisa bahagia. Berbeda kalau belum terbangun untuk bahagia, susah sekali menerima kebahagiaan dari rumah megah dan lainnya.
Kamu pun mengungkapkan pernyataan dari pakar, “Guru Gede Prama mengatakan bahwa penderitaan dimulai saat kita merendahkan yang kita miliki dan meninggikan yang tidak kita miliki.” Nah, selaras bukan dengan penjelasan di atas? Afi memiliki gatget dengan kebahagiaan di awal saja karena menganggap gatget yang dimiliki bernilai rendah. Sikap merendahkan itulah yang membuat Afi tidak menjadi bahagia lagi akan gatget yang dimiliki. Padahal ketika menyadari sisi positif dari memiliki gatget ketimbang tidak memilikinya, perasaan bahagia akan selalu hadir. Rasa bahagia berkaitan dengan atau memunculkan hati penuh syukur dan ikhlas.
Sebagai penulisan terakhir, ada kalimat manis darimu, Afi Nihaya Faradisa. Aku menyukai ini:
⇛ Uang bisa membeli buku, tapi bukan ilmu.
⇛ Uang bisa membeli kasur, tapi bukan tidur.
⇛ Uang bisa membeli obat-obatan, tapi bukan kesehatan.
⇛ Uang bisa membeli makanan, tapi bukan rasa kenyang.
⇛ Uang bisa membeli jabatan, tapi bukan kehormatan.
⇛ Uang bisa membeli teman dan pasangan, tapi bukan kasih sayang.
Aduh, gak tahu nih arah tulisannya ke mana, haha... Terpenting nulis tentang kamu.
Sumber tulisan Afi: http://bit.ly/2sxZ5wX
EmoticonEmoticon